Dalam percakapan, ada yang kita sebut tone atau nada suara. Nada suara ini biasanya dibagi menjadi tiga, negatif, positif, dan netral. Saat kita marah atau mengeluh, tone ini digolongkan sebagai sentimen negatif. Sebaliknya, bentuk pujian atau ungkapan senang adalah sentimen positif. Sedangkan nada netral adalah tone yang bersifat informasi.
Sebagai pihak brand, tone ini sangat sensitif, karena diyakini secara langsung mempengaruhi penilaian masyarakat umum terhadap brand mereka, makanya tidak heran jika brand berusaha mati-matian untuk menciptakan nada suara yang positif. Hal ini terjadi juga di dunia sosial media.
Itu sebabnya beberapa tahun lalu tools analitik sosial media berusaha dengan keras untuk dapat membaca dan mengenali nada suara di sosial media, karena mereka percaya jika mereka dapat mengukur nada suara dengan akurat, maka akan menolong brand dalam ekspansi marketing di sosial media.
Brand pun tidak kalah gencar, mereka mati-matian membuat campaign yang meningkatkan nada suara positif di tengah-tengah netizen. Kompetisi ini akhirnya dicap dengan stigma ‘pencitraan’.
Mari kita mundur sejenak. Anda tahu kata, ‘gila’?
Dua puluh tahun yang lalu, saat anda bilang gila, konteksnya pasti negatif. Bagaimana sekarang?
“Gila lo! Kok lu bisa ketrima sih di sana?? itu kan susah banget tes nya?!” Apakah anda bisa menafsirkan kalimat ini berkonotasi positif atau negatif?
Ini yang terjadi baru-baru ini, saat hashtag #SaveHajiLulung menjadi world tranding topic di Twitter. Salah-satu tools analytic yg cukup banyak digunakan di kalangan pelaku industri digital salah mengenali sebagai campaign positif. Padahal kita tahu bersama itu adalah hastag bully-an, yang tentu artinya negatif.
Ini yang diabaikan dalam usaha mencari nada suara, bahwa bahasa selalu bersifat relatif dan kontekstual. Relatif berdasarkan budaya dan kontekstual berdasarkan waktu/moment. Itu sebabnya akan menjadi tidak relevan saat tools analitik hanya menekankan pada nada suara, dan brand hanya berfokus pada sentimen konsumen.
Alih-alih menekankan pada sentimen, Polaris, sebagai salah-satu tools analitik sosial media yang sangat powerful saat ini, lebih menekankan pada varian percakapan dan apa yang dipercakapkan oleh netizen. Alih-alih mengenali nada suara, Polaris mempertajam algoritma dengan mengenali behavior dari netizen terhadap sebuah konten, yaitu dengan related words. Related words adalah bagaimana brand kita diasosiasikan.
Dari sini kita dapat melihat apakah sebuah campaign atau konten tersampaikan ke audience atau tidak. Dari sisi brand akan menghemat waktu, tenaga, dan uang mereka untuk berfokus pada konten yang tepat sasaran, dari pada berjuang untuk menemukan sentimen negatif atau sentimen positif. Tentu konten yang baik selalu berfokus pada manfaat, dan dengan sendirinya kita akan mengetahui bahwa brand kita dicintai atau dibenci.
#saveyourbrand
Update 15 April 2016:
Facebook-Twitter Analytics Polaris telah berubah menjadi GDIAnalytics, Social Intelligence Platform untuk Facebook, Twitter, dan Instagram, yang telah diluncurkan GDILab pada tanggal 18 Maret 2016. Untuk selengkapnya, Anda bisa mengakses di sini.