Selamat tahun baru! Tahun baru, tentunya akan bermunculan tren baru di berbagai industri, salah satunya industri digital. Masuk ke dalam salah satu mediumnya, yaitu media sosial pun juga tidak terlepas dari tren yang akan berkembang di tahun baru 2020. Mulai dari platform yang akan in di tahun 2020, mempelajari bagaimana algoritma nya sampai tren influencer sebagai medium untuk membangun brand awareness.
Untuk membahas lebih dalam mengenai tren media sosial 2020, kita akan ngobrol bareng Lucas Nawawi, CEO & Co-Founder ARTEE Group, digital marketing and creative agency. ARTEE Group sendiri memiliki 3 unit bisnis yaitu Hiruk Pikuk, Cikal Bakal, Sorak Sorai yang berfokus pada digital marketing, creative & branding serta influencer marketing.
Bagaimana tren media sosial di tahun 2020?
Semakin kesini konten yang menarik untuk audiens adalah konten yang lebih ke arah visual, bukan cuma foto tapi video. Video pun juga bukan video ‘yang penting kita promosi’, tapi lebih ke arah storytelling content, jadi bagaimana kita mengemas konten tersebut dengan bercerita. Banyak juga brand sekarang yang semakin kesini semakin nyeleneh, tapi bercerita tentang fitur-fiturnya, produk-produknya. Unique selling point-nya dikemas dengan bercerita, ceritanya semakin kesini juga semakin casual. Jadi kalo dari sisi platform, yaitu platform apa yang bisa menyajikan cerita dan video.
TikTok diprediksi akan jadi platform yang in di tahun 2020. Tapi apakah semua brand harus masuk TikTok dan gimana caranya?
TikTok sendiri kan platform casual dan socmed sendiri sebenernya platform yang banyak digunakan oleh audiens untuk melepas stress dan mencari hiburan. Jadi kalau pun brand banyak yang mau tap-in di socmed secara general, brand harus menyesuaikan dengan needs dari audiens tersebut. Kenapa mereka mau masuk platform itu, apakah brand tersebut emang pengen hiburan. Makanya brand yang mau masuk ke socmed jangan melulu hard selling. Misalnya deh kita didatengin terus sama sales setiap hari yang nawarin produk, jatohnya akan mengganggu. Tapi kalau ada satu orang dateng ke kita, ceritain atau storytelling suatu produk, akan lebih membuat kita tertarik. Balik lagi ke platform, mau IG, FB atau TikTok sekalipun kita yang penting delivering message-nya harus tepat guna. Brand yang mau tap-in ke TikTok ya harus sesuai, kalau mau soft selling produknya dia harus dengan cara yang tepat, ikutin cara mainnya TikTok. Jadi apakah semua brand bisa? Yang bisa jawab brand-nya sendiri. Menurut kalian secara brand image-nya mau dibikin seperti itu gak? Kalau bisa main-main ya masuk aja ke TikTok.
Gimana cara bikin konten yang tepat untuk tiap platform?
Pertama kita harus tau tiap platform audiens kita siapa. Kita ambil contoh YOT di Facebook. Kita harus analisa dulu, audiens YOT di FB. Kalau konten YOT yang nyimak di sana alumni-alumni YOT yang udah masuk ke dunia karir atau pengusaha & punya brand, tapi mereka tetep jadi audiens nya YOT di FB, jadi kita bikin konten yang tepat untuk mereka. Beda misalnya sama IG, ternyata mereka yang alumni-alumni juga follow IG tapi yang lebih engage berkomunikasi, re-post konten YOT ternyata yang muda-muda. Nah, kita bikin konten untuk mereka juga. Balik lagi siapa audiens kita, harus disesuaikan. Demografi ngaruh banget, kalau saya selalu analisa tiap bulan, lihat perkembangannya. Usia, gender, area, cara berkomunikasinya kan beda-beda. Kami pernah ada case, client kantornya di Jakarta, produksi di Jakarta ternyata lakunya di area luar Jakarta nah kita mesti bikin activity yang kita create untuk daerah yang disesuaikan.
Apakah demografi tersebut juga bisa berubah tiap waktunya?
Bisa berubah, bisa bertambah. Kami sering banget ngalamin hal kayak gitu. Ada brand yang followers-nya terlalu mature padahal secara produk kita mau nyasarnya anak muda karena lebih potential audience. Good news pertamanya adalah audiens kita wide, yang kedua dan harus diantisipasi adalah kita harus introspeksi dulu nih konten kita ternyata untuk dewasa. Bukan salah target ya, tapi lebih ke arah kita harus adjust konten kita, lebih disegarkan dan lebih dimudakan. Berarti mungkin kita bisa AB testing, trial and error apakah konten yang A mengurangi konten yang dewasa tersebut terus nambah yang anak muda atau konten yang B ternyata anak mudanya bertambah tapi dewasanya tetep stay. Nah berarti kita bisa pakai yang B. Dari B ini kita bisa AB testing lagi konten apa yang masuk ke dua-duanya atau apakah kita mau konsen ke anak mudanya. Jadi yang penting target kita tercapai. Cuma yang namanya digital, socmed itu pelajari behavior orang karena selalu berubah terus trend-nya. Istilahnya kita ngikutin mood orang. Jadi kalau misalnya dia suka konten apa, kita mesti ngikutin. Jadi always riding the moment.
Cara mengukur apakah konten kita sudah tepat atau belum diukur dari mana? Apakah reach, impression atau engagement?
Kita ngomongin reach sama impression. Kita umpamakan ada satu billboard di Senayan. Reach itu adalah berapa banyak orang yang lewat di situ, ngeliat billboard itu. Jadi reach jumlah per-orang atau account-nya. Impression adalah berapa kali orang itu melihat. Misalnya A lihat 2 kali, berarti reach-nya 1, impression-nya 2, terus B lewat sampe tiga kali bolak-balik. Berarti reach-nya 2, impression-nya 5. Jadi pengukuran bagus atau jeleknya, kalau saya pribadi selalu lihat dua-duanya. Reach-nya berapa, impression-nya berapa. Tapi kalau misalnya reach dari iklan yang saya pasang 10.000, berarti 10.000 akun terjangkau. Tapi impression-nya sampe 50.000 berarti kalau dirata-rata 1 akun ngeliat sampe 5 kali. Berarti iklan yang kita buat bagus. Karena 2x lipat aja udah oke. Tapi kalo ditanya percentage-nya berapa dari reach sama impression, aku selalu liat normalnya 3% dari total potential reach, itu udah bagus untuk brand.
Apakah pengukuran tersebut sama di tiap platform?
Kalau yang tadi untuk IG. Kalau FB itu udah kecil banget, kalau gak salah 1%. Jadi kalau FB, patokan saya pasang ads, reach sama impression-nya makin besar apa ngga. Terus udah gitu, ads yang kita pasang, misal reach-nya 10.000, lalu kalau impression-nya kalo udah kali 2, berarti itu udah bagus. Jadi rata-rata kan biasanya kalau iklannya tepat guna, misalnya reach-nya 10.000, impression-nya 15.000 itu berarti 1 setengah kali kan. Tapi kalau ternyata reach-nya 10.000 dan impression-nya sampe 30.000 itu berarti udah bagus banget, iklannya efektif.
Ngomongin social media, gak terlepas juga dari influencer. Pandangan mengenai influencer ini ke depannya gimana?
Sangat melihat itu sebagai industri dan gak bisa dipungkiri jadi efek samping industri digital. Jadi, itu yang penting kita harus manfaatin dengan cara yang tepat as a brand. Cara yang tepat balik lagi, gimana caranya ngebaca audiens kita dan audiens influencer tersebut. Misalnya kita mau cari influencer anak muda, ok kalau gitu yang anak muda definisinya anak muda harus usia 25 ke bawah berarti yang 25 ke atas gak kita lihat. Sebenernya belum tentu gitu, misal influencer umurnya 21, tapi audiens nya umur 13 tahun, berarti gak cocok untuk audiens kita di usia 17-25. Padahal, ada influencer umur 45 tapi audiens nya umur 20an, dia yang tepat sebenernya. Nah makanya kita harus liat audiens nya influencer tepat apa ngga sama audiens kita. Message yang kita mau tap-in di dia, istilahnya kan kita mau endorse dia, itu message-nya kena ke audiens yang tepat. Kalau dulu saya pernah yang penting masuk budget dengan influencer-nya, tapi dari situ kami AB testing dan belajar kalau influencer bukan ke orangnya, tapi ke audiens nya.
Kalau misalnya kita udah kerja sama bareng influencer, berapa persen bisa dipastikan audiens nya dia engage dengan brand kita?
Kalau itu gak ada persentasenya. Cuma yang pasti influencer bukan untuk dapetin conversion. Mindset kita pas kita pakai influencer bukan ke arah conversion tapi untuk gaining awareness. Jadi kalau di marketing funnel kan kita mau dapetin awareness sebesar-besarnya untuk dapetin engagement, baru kita dapetin berapa persen dari awareness engagement. Itu kerucut paling kecil di conversion, yaitu bisa sales, dapetin data, subscription dan segala macem. Nah influencer itu adanya di paling atas di awareness. Tapi poin nya, semakin besar awareness yang bisa kita dapetin, kan engagement sama leads-nya akan semakin besar percentage-nya. Banyak orang yang salah persepsi dan gak sabar.
Ada pengalaman, ada celebrity influencer nge-charge rate-nya sampe puluhan juta. Ok si brand mau bayar puluhan juta tapi nanya bisa dapet sales berapa. Jawabannya adalah tergantung. Saya dan tim pernah beberapa kali pakai influencer, rate-nya mahal, begitu si brand bayar dia untuk jadi influencer-nya, ternyata customer service dari brand tersebut belum ready untuk nampung atau produknya sold out. Jadi si influencer-nya efektif, tapi di back-end nya masih belum ready, jadinya kita juga spending money for nothing. Harusnya bisa ningkatin penjualan untuk 10x lipat, ini malah 2x lipat. Berarti kan wasting-nya banyak banget, 80% dari potential-nya. Jadi kita mesti make sure kita nya udah siap. Jadi jangan terlalu banyak nuntut, kewajiban kita penuhin dulu.
Gimana caranya kita tau kerjasama dengan influencer ini berhasil. Apa indikatornya?
Indikatornya adalah ketika kita mau pake influencer siapapun, kita nya sendiri secara internal harus siapin KPI kita. Kita gak bisa targetin sales itu ke influencer atau agency. Jadi indikatornya kita sebagai brand harus kita yang set. Misalnya mau achieve target sales kita kali lima dari hari ini untuk 2 bulan ke depan. Berarti gimana caranya saya achieve, itu salah satunya dengan influencer. Berarti untuk influencer akan spend budget sekian, untuk at least dapetin berapa ratus unit terjual, berarti dari situ KPI nya harus dari kita. Jadi brand harus tau dulu mau achieve apa, jangan agency yang tentukan. Pertama yang harus kita set, kita harus punya target sendiri.
Lucas Nawawi, CEO & Co-Founder ARTEE Group