Influencer jadi salah satu medium yang dilirik oleh berbagai brand untuk mengenalkan brand mereka kepada khalayak. Terlebih lagi dengan perkembangan media sosial serta jumlah penggunanya yang semakin meningkat.
Sebelumnya, kita bahas dulu jenis influencer berdasarkan jumlah followers-nya. Ini dia penjelasannya dilansir dari medium.co:
- Mega Influencer: memiliki lebih dari 1 juta followers
Influencer ini memiliki pengikut dengan latar belakang ketertarikan yang berbeda. Mega influencer juga bukanlah ahli di suatu industri, tapi postingan mereka jadi salah satu yang diminati dan jadi bahan obrolan. Gak heran kalo mega infuencer punya rate harga yang tinggi.
- Makro Influencer: memiliki 100.000 sampai 1 juta followers
Influencer ini dikenal dari keberadaan mereka di internet, bisa sebagai vlogger ataupun content creator yang memiliki satu frekuensi dengan audiens mereka. Makro influencer juga memiliki rate harga yang tinggi (tidak setinggi mega influencer), tetapi bisa menyasar audiens yang lebih tepat dibandingkan mega influencer.
- Mikro Influencer: memiliki 1.000 sampai 100.000 followers
Influencer ini dikenal memiliki hubungan yang baik dengan audiens mereka karena adanya interaksi di antara mereka. Adanya interaksi ini karena konten yang dihadirkan oleh influencer bernilai tinggi dan berarti di mata pengikut mereka.
- Nano Influencer: memiliki sekitar atau kurang dari 1.000 followers
Influencer yang satu ini juga memiliki keterlibatan yang tinggi degan followers mereka, karena mereka memiliki interaksi personal dengan pengikut mereka. Nano influencer memiliki kekuatan mempengaruhi suatu produk ke benak audiens.
Terus, gimana cara kita sebagai pemilik brand memilih influencer yang tepat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Lucas Nawawi, CEO & Co-Founder ARTEE Group mengatakan jika hal pertama yang harus disiapkan oleh suatu brand adalah KPI. Suatu brand tidak bisa menyerahkan target yang ingin kita capai kepada influencer atau agency. Sehingga, indikator keberhasilan ditentukan oleh brand.
“Misalnya mau achieve target sales kita kali lima dari hari ini untuk 2 bulan ke depan. Berarti gimana caranya saya achieve, itu salah satunya dengan influencer. Untuk influencer akan spend budget sekian, untuk at least dapetin berapa ratus unit terjual. Berarti dari situ, KPI nya harus dari kita (brand). Brand harus tau dulu mau achieve apa, jangan agency yang tentukan,” terang Lucas.
Influencer Bukan untuk Mendapatkan Conversion
Terkadang kita salah persepsi dalam memanfaatkan jasa influencer. Lucas mengatakan bahwa yang pasti influencer bukan untuk mendapatkan conversion, tetapi untuk gaining awareness.
“Kalau di marketing funnel, kita mau dapetin awareness sebesar-besarnya untuk dapetin engagement, baru kita dapetin berapa persen dari awareness engagement. Itu kerucut paling kecil di conversion, yaitu bisa sales, dapetin data, subscription dan segala macamnya. Nah, influencer itu adanya di paling atas di awareness. Tapi, poin nya, semakin besar awareness yang bisa kita dapetin, kan engagement sama leads-nya akan semakin besar percentage-nya. Banyak orang yang salah persepsi dan gak sabar,” kata Lucas.
Dari pengalaman Lucas yang selama ini yang berhubungan langsung dengan brand dan influencer, ada satu hal juga yang gak boleh dilupakan, yakni kesiapan kita. Bahkan, sampai back-end system juga harus dipersiapkan agar ketika efek dari influencer ini berpengaruh ke penjualan, sistem kita dan produk kita sudah siap.
“Dimana yang seharusnya kita bisa ningkatin penjualan untuk 10x lipat, ini malah 2x lipat. Berarti kan wasting-nya banyak banget, 80% dari potential-nya. Jadi kita mesti make sure kita nya sudah siap. Jadi, jangan terlalu banyak nuntut, kewajiban kita penuhin dulu,” pesan Lucas.
Sesuaikan dengan Audiens Influencer dengan Brand
Lucas membagikan tips kepada brand yang ingin menggunakan jasa influencer, yaitu dengan menyesuaikan audiens brand dengan audiens dari influencer tersebut. Dengan tips ini, maka message yang kita berikan akan tersampaikan dengan baik dan tepat. Jangan sekadar mencari influencer yang sesuai dengan budget.
“Misalnya kita mau cari influencer anak muda, ok kalau gitu yang anak muda definisinya anak muda harus usia 25 ke bawah, berarti yang 25 ke atas gak kita lihat. Sebenernya belum tentu gitu, misalnya influencer umurnya 21 tapi audiens nya umur 13 tahun, berarti gak cocok untuk audiens kita di usia 17-25. Padahal, ada influencer umur 45 tapi audiens nya umur 20an, dia yang tepat sebenernya,” kata Lucas. Ia menambahkan, influencer itu bukan ke orangnya, tetapi ke audiens nya.