Akhir-akhir ini apabila kita membuka media sosial, kemungkinan besar kita akan melihat ada teman-teman kita mengunggah video lucu muka mereka menempel di video dengan muka orang lain. Misalnya, kita melihat ada video teman kita seakan-akan menjadi spider-man atau menggantikan peran utama dalam sebuah video lagu Lady Gaga. Semata-mata, video-video tersebut menjadi konsep konten yang baru dan menghibur. Namun, mungkin banyak dari kita tidak mempertanyakan bagaimana muka-muka kita bisa menempel begitu meyakinkan di video-video tersebut.
Jenis konten seperti ini menjadi mungkin dengan munculnya aplikasi-aplikasi manipulasi muka yang gratis untuk diunduh. Semua aplikasi ini memiliki sebuah kesamaan, yakni implementasi teknologi Deepfake dalam memanipulasi facial information manusia. Teknologi Deepfake pada saat ini masih relatif baru, dan belum banyak orang Indonesia yang pahami. Tetapi, pada saat ini juga di belahan dunia yang lain, sedang berlangsung perdebatan mengenai etika penggunaan teknologi ini.
Sebelum membahas perdebatan tersebut, mari kita pahami dahulu apa itu teknologi DeepFake secara permukaan.
Apakah itu Deepfake, dan Apa Fungsinya?
Deepfake pertama kali diciptakan pada tahun 2017, dengan pertama kalinya tersebar video hasil Deepfake di website Reddit. Sederhananya, Deepfake adalah sebuah bentuk Artificial Intelligence (AI) yang digunakan untuk memalsukan rekaman video menggunakan metode deep learning. Teknologi Deepfake memproses facial information seseorang dengan mempelajari ratusan sampai ribuan foto seseorang. Setelah dipelajari, AI ini dapat menerapkan informasi tersebut ke muka orang lain dalam rekaman yang berbeda untuk mengganti muka orang tersebut.
Tidak hanya dalam bentuk video, teknologi Deepfake juga bisa digunakan untuk memalsukan audio. Dengan mempelajari sekian menit rekaman audio, teknologi Deepfake bahkan dapat membuat Ratu Elizabeth II menuturkan lirik lagu Arctic Monkeys.
Queen Elizabeth II reads “Fluorescent Adolescent” by Arctic Monkeys (Speech Synthesis)
Membicarakan mengenai fungsi, teknologi Deepfake sampai sekarang pada intinya adalah pemalsuan video. Moralitas dari teknologi ini masih belum ditentukan letaknya, karena telah digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari membuat video-video komedi hingga membuat video pornografi palsu.
Batasan Antara Kenyataan dan Kepalsuan Semakin Saru
Di satu sisi, ditemukannya teknologi Deepfake menunjukkan progress yang sangat jauh dalam teknologi dan informasi. Namun, kemampuan yang luar biasa ini menciptakan berbagai masalah etis. Dalam bentuknya yang sederhana (seperti yang digunakan dalam aplikasi-aplikasi gratis), mungkin dapat terlihat bahwa sebuah video telah dimanipulasi menggunakan Deepfake. Tetapi, terbukti bahwa Deepfake mampu menciptakan video yang sama sekali tidak terlihat palsu.
Sebagai contoh konkret, simak video berikut yang pernah viral di Amerika di tahun 2018 silam:
BuzzFeed: You Won’t Believe What Obama Says In This Video!
Hal ini dapat menimbulkan masalah yang sangat besar, karena bisa menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Era digital sudah mempersulit kita membedakan dunia nyata dengan dunia maya. Kedatangannya teknologi deepfake hanya menambah masalah dengan mempersulit kita membedakan yang nyata dengan yang palsu.
Lebih lagi, teknologi ini memampukan siapa pun untuk menggunakan muka siapapun, bagaimanapun mereka mau. Artinya, hak kamu atas kepemilikan muka kamu (likeness). Di Indonesia masih jarang, dan mungkin aneh, membicarakan hak atas muka yang kita miliki. Namun, perlu kita sadari pentingnya hak tersebut dengan munculnya teknologi Deepfake. Hingga kini, yang paling sering dirugikan adalah para selebritis. Banyaknya foto-foto mereka mempermudah autoencoder Deepfake untuk memproses dan memanipulasi informasi muka mereka.
Perlu diketahui juga bahwa bahaya ini sangat nyata karena belum adanya hukum yang mengatur penggunaan Deepfake, termasuk di Indonesia. Perdebatan etis mengenai Deepfake masih terus berlanjut. Namun, munculnya penggunaan teknologi Deepfake secara komersial semakin memperumit keadaan. Kembali lagi, munculnya aplikasi-aplikasi manipulasi muka memperkenalkan masyarakat umum mengenai teknologi Deepfake, tanpa mengedukasikan apa itu Deepfake Dan implikasi yang dapat terjadi.